Perjalanan Seorang Ant











{17 Agustus 2016}   keyakinan hati

di saat aku mencari keyakinan hati tentangmu, kau malah menjauh…



{5 Oktober 2017}   Benar

hatiku tidak sekuat dan setegar apa yang pikiranku bayangkan…

mencoba mengabaikan semua cerita yang orang katakan, seolah semua itu tidak benar…

tapi hatiku sendiri tahu, semua itu benar…

sabarlah, berserah dirilah pada Allah S.W.T. karena hanya Dia lah yang selalu bersamamu…



{4 Juli 2017}   Kelam

setelah kepergianmu hidupku terasa semakin sulit..

langkahku semakin berat, tiada lagi pelita arah..

terkadang hati ingin menangis sepuasnya, tapi pikiran berkata ‘jangan!’, ‘kau harus tegar! simpan saja air mata sia-siamu itu!’

hatiku semakin rapuh, akalku terasa beku, mungkin saya sudah lelah.. 😂😂

di sini aku hanya bisa bersimpuh, berdoa untukmu, semoga dirimu bahagia di sisi-Nya.. wahai ibu..



{20 Maret 2017}   Kejujuran

belajar untuk jujur satu sama lain dan ternyata kejujuranku melukai hatimu.. hal yang ku anggap sepele ternyata menyakiti perasaanmu.. sekarang aku hanya takut kau akan berubah dan aku yakin rasa percayamu padaku sedikit banyak sudah berkurang..

di sini aku akan tetap menunggu, jika memang benar kau adalah jodohku semua akan kembali seperti semula, tetapi jika tidak……

*maaf tulus dari seseorang yang menyayangimu..



{5 Desember 2016}   Serakah

Screenshot_20161204-205605.jpg



keraguan yang ada bukanlah tentang dirimu, tapi tentangku sendiri…
kesedihan yang kurasa juga bukanlah tentang dirimu, itu pun tentang diriku…
ada perasaan bersalah tetap terpatri dalam diriku yang belum bisa aku lupakan…
apakah aku menyakiti hati*nya?
apakah aku sudah membuat*nya bersedih?
karena aku takut bukan kebaikan yang akan datang padaku, tapi sebuah keburukan…

terkadang aku benar-benar merasakan sebuah cinta yang hangat.. cinta yang kau curahkan dengan tulus untukku.. aku tahu itu dan aku pun ingin membalas semua itu untukmu… tapi, apakah kau tahu? pikiranku kadang berkhianat padaku, memikirkan semuanya membuatku resah… ‘apakah semuanya akan baik-baik saja? apakah benar ini jalan untuk kita berdua?’

aku selalu berkata ‘semuanya akan baik-baik saja, baik-baik saja’, tapi lagi-lagi otakku memberontak ‘kau sudah membuat *dia bersedih!!’, dan hal itulah yang membuatku menggila sesaat… aku tidak marah padamu, tidak pernah sedikitpun, tapi aku marah pada diriku sendiri, yaa diriku… diriku yang gila akan cinta kasihmu yang tulus hingga membuatku mengabaikan hati seseorang… jadi, maafkan aku, maafkan aku yg terkadang membuatmu merasa dibaikan, merasa tak dianggap, membuatmu bersedih, membuatmu marah, membuat hatimu resah…

maafkan aku wahai yang mencintaiku… 😊😊



{3 April 2013}  

 

 

 

 

 

jjjjj

DSC07065

 

lllll;

DSC07068

 



{29 Maret 2013}   Kampung Kecilku

1

Aku baru tiba di kampung kecilku, Bedeng Kantor yang ada di Tanjung Enim. Rumah-rumah di kampung ini semuanya adalah rumah peninggalan jaman Belanda, dindingnya sangat keras bahkan masih kokoh walau sudah 17 tahun berlalu dan lantainya yang berkeramik kuno, tapi kini sudah tampak banyak perubahan di kampung ini. Dan juga di kampungku ini tanahnya mengandung banyak arang, itulah kenapa telapak kaki akan menjadi hitam kotor jika tidak menggunakan alas kaki. Banyak kenangan indah yang tersimpan di kampung ini. Sejenak aku mengenang masa kecilku. Di sini aku punya banyak teman, belajar, bermain, mengaji, aaahhh semuanya begitu indah dulu. Sekarang, semuanya sudah tidak ada lagi, hanya tinggal cerita masa kecilku. Tidak ada lagi permainan yang dulu sering aku dan teman-temanku mainkan, tidak ada lagi rerumputan, tidak ada lagi capung, tidak ada lagi kupu-kupu, tidak ada lagi rel dan kereta api, tapi masih ada satu hal yang tersisa yaitu pohon asam yang hidup di pekarangan rumah tua yang usang. Duduk ku di atas sumur tua yang sudah tertutup dengan semen cor yang tebal. Pandanganku melayang, melayang jauh ke tujuh belas tahun silam.

 ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

“Atik.. Atik.. ngaji yuuukk.”, teriakku dan teman-temanku yang lain.

“Tunggu sebentar yo.”, teriak Atik dari dalam rumahnya.

Atik adalah temanku yang sebaya denganku, sama-sama baru berumur 7 tahun. Tinggi Atik sama sepertiku, dia juga berkulit putih sama sepertiku. Walau berbeda sekolah tapi sekolah kami satu lingkungan, satu kompleks. Kemudian ada Eni, dia teman satu sekolah Atik bahkan satu kelas dengan Atik. Eni sendiri berkulit hitam. Ada yuk Ika dan Ela yang satu tahun lebih tua dari kami. Hmmm… Yuk Ika itu cantik, berkulit putih. Dan yuk Ela sendiri berkulit hitam. Oh ya, yuk Ela adalah kakak  sepupu Eni. Kemudian ada Ria dan Tata yang kakak beradik, Ria lebih muda dua tahun dariku, sedang Tata lebih muda tiga tahun dariku. Ria dan Tata ini sama-sama cantik, mereka berdua berkulit putih turunan dari kedua orang tuanya. Terakhir Lien, dia adalah adik sepupuku sendiri. Dia lebih muda satu tahun dariku, dia juga berkulit putih. Dan aku sendiri?? Namaku Santi, tapi keluargaku memanggilku dengan sebutan ‘Dedek’ (ada sejarahnya lhooooo, hihi). Aku ingat saat pertama kali bertemu dengan Atik dan yang lainnya saat aku berumur enam tahun kecuali Lien. heheh.. ^^

Akhirnya Atik keluar dari rumahnya dengan jilbab putihnya. Kami menggunakan jilbab hanya saat kami mengaji, maklum kami masih anak-anak. Akhirnya kami menuju langgar (musholah) dengan riang walau siang itu cukup panas. Langgar kami ini tidak terlalu luas, mungkin sekitar 6×8 meter. Hari ini adalah jadwal Atik dan Ria untuk membersihkan langgar. Membersihkan di sini adalah menyapu langgar dengan menggunakan sapu lidi, karena langgar kami menggunakan ambal yang berwarna hijau terang. Sedangkan aku dan yang lainnya menunggu di luar. Di saat itu guru ngaji kami, yang tak lain adalah nenek lanang (kakek, lanang=laki-laki) ku sendiri sudah datang. Nenekku ini sudah berumur 60 tahun, tapi nenekku masih giat mengajar ngaji dan sholat di langgar ini. Subuh-subuh nenekku ini sudah pergi ke langgar, kalau belum ada orang yang datang, beliau sendirilah yang menjadi muadzin. Sekitar pukul 07.00 pagi nenekku pulang ke rumah untuk sekadar sarapan, itupun kalau tidak puasa sunah. Paginya mengajar ngaji, pulang pukul 11 siang untuk makan istirahat dan makan siang. Setelah itu pergi lagi ke langgar untuk sholat dzuhur, siangnya mengajar ngaji lagi. Setelah sholat ashar nenekku pulang untuk istirahat. Jika maghrib sudah datang, nenek kembali ke langgar dan baru pulang sekitar pukul 10 malam. Begitulah yang nenek lanangku kerjakan setiap harinya. 

Setelah Eni dan Ria selesai menyapu, kami semua masuk. Kemudian datang anak laki-laki yang terdiri dari kak Bowo, kak Adit, Edo, Endi, Akbar, dan Jaka. Kak Bowo dan kak Adit satu tahun lebih tua dariku, itu artinya mereka sebaya dengan yuk Ika dan Ela. Kak bowo sedikit tinggi dan berkulit putih, sedang kak Adit tinggi berkulit hitam. Edo adalah adik dari yuk Ika, tapi dia lebih muda dua tahun dariku. Endi sendiri lebih muda satu tahun dariku. Endi cukup tinggi untuk anak seumurannya dan dia berkulit putih. Akbar sebaya denganku, Atik, dan Eni. Dan terakhir Jaka, dia sebaya dengan Tata. Sebelum ngaji dimulai, kami membaca surat Al-Fatihah bersama-sama.

Dalam mengaji nenekku menerapkan aturan, jika sampai tiga kali kami tidak hafal atau tidak bisa membaca bacaan Al-Quran kami saat itu, maka kami akan dipecut (dipukul) tigal kali dengan sebuah pecutan. Aku sendiri bingung, terbuat dari apa pecutan itu. Panjangnya sekitar 70-80 cm, bahannya seperti sabun mandi tapi keras. Jika dipecut sekali saja, telapak tangan atau kaki akan menjadi merah. Hahah.. ^^

Dan hari itu kak Adit dan Akbar tidak hafal bacaan mereka. Alhasil mereka kena pecut.

            “Adit, sudah berapo kali kau dak hafal?”, tanya nenek.

            “Tigo kali nek.”, jawab kak Adit pelan. Kami tertawa kecil mendengarnya.

Kak Adit sudah menyiapkan kedua tangannya, tapi tiba-tiba dia menariknya kembali.

            “Jangan kuat-kuat yo nek.”, pinta kak Adit cengengesan. Kamipun tertawa.

Kak Adit meringis saat dipecut oleh nenek. Hhmmm… Itu pasti sakit. Begitu pula dengan Akbar, mereka berdua mengelus-elus tangan mereka. Setelah semua selesai mengaji, kami bersama-sama membaca doa ibu bapak, surat-surat pendek (surat Al-Asr, surat Al-Falaq, surat An-Nas dan surat Al-Ikhlas) sebagai penutup.

Time to Play.

Setelah selesai mengaji dan mengembalikan peralatan mengaji ke rumah masing-masing, kami berkumpul di halaman kecil dekat langgar. Kami berkumpul lagi bukan untuk mengaji melainkan untuk bermain. Haha.. Kami akan bermain bentengan. Di sini akan dibagi menjadi dua tim. Karena kami semua berjumlah empat belas orang, jadi masing-masing tim punya tujuh anggota. Empat cewek dan tiga cowok. Dan supaya adil itu dilakukan dengan usit. Aku sendiri pun bingung menjelaskan apa itu ‘usit’. Ckckckkc… -,-‘ Bentengan, kebetulan di halaman ini ada dua buah tiang listrik yang berseberangan jauh. Tiang-tiang listrik itupun menjelma menjadi benteng masing-masing tim. Cara bermainnya sih rada sulit, seperti halnya main kejar-kejaran tapi di sini siapa yang lebih dahulu memegang benteng timnya dan tertangkap oleh lawan yang baru memegang benteng timnya maka dia kalah dan menjadi tawanan tim lawan. Untuk bisa lepas sebagai tawanan, anggota tim yang lainnya harus menyelamatkannya. Bisa dengan memegang pundak ataupun tangan sang tawanan. Dan untuk menjadi pemenang dalam permainan ini, sebuah tim harus berhasil memegang benteng tim lawan. Saat kami bermain, debu-debu berterbangan, walaupun begitu kami tetap asyik bermain.

Setelah merasa lelah kami akhirnya memutuskan untuk berhenti bermain. Walau tidak ada yang menang hari ini, kami merasa puas. Baju kami terlihat kotor dan basah karena keringat. Kami pun pulang ke rumah masing-masing dengan puas.

#####

 

2

Hari ini aku bersekolah pagi, karena baru kelas dua SD aku pulang sekolah pukul 10 pagi. Begitu juga dengan Atik dan Eni. Sedangkan Lien yang masih kelas satu SD masuk pukul 10 pagi. Akhirnya kami sepakat untuk pergi bermain ke padang rumput yang ada di dekat kampungku. Jarak rerumputan ini dengan kampungku mungkin sekitar 100 meter. Rerumputan ini sangat hijau, terselip bunga ilalang berwarna putih bak kapas, ada juga rumput liar yang jika tersentuh  pakaian kita akan menempel di pakaian kita itu, kami sering menyebutnya ‘acung-acung’. Rerumputan ini dipisahkan oleh satu jalan aspal dan satu lagi jalan bebatuan. Di rerumputan ini juga ada rel kereta api dan tentu saja terkadang akan ada kereta api pembawa arang yang parkir di sini. Kami terbiasa menyebut kereta api ini dengan sebutan ‘sepur’. Terkadang ada juga sekelompok kambing yang sedang menikmati makan siangnya, ayam milik orang sekitar yang bermain kejar-kejaran, dan anak-anak kecil lainnya yang bermain layang-layang. Di rerumputan ini juga banyak sekali capung (kami sering menyebutnya ‘kinjeng’) dan kupu-kupu yang berwarna-warni. Kami membuat sebuah alat untuk menangkap capung dan kupu-kupu dengan sebatang ranting pohon yang panjang. Di ujung ranting kami pasang plastik besar yang kami ikat dengan karet. Tanpa rasa bersalah sedikitpun kami menangkap capung dan kupu-kupu, setalah menangkap sang capung dan kupu-kupu kami akan melepaskan mereka lagi. Bagi kami anak-anak kecil, ini benar-benar hal yang menyenangkan. Tiba-tiba mataku menangkap sebuah lubang kecil berisi air di dekat dinding jalan. Aku mendekat ke lubang itu. Di sana ada banyak ikan-ikan kecil. Dan dari jalan di atasnya ada air yang mengalir seperti air terjun kecil ke lubang itu. Aku sangat senang melihat ikan-ikan itu. Sedangkan Atik dan Eni masih asyik menangkap capung.

            “Atik… Eni.. sini dulu.”, teriakku memanggil mereka.

            “Ngapo San??”, teriak Eni.

            “Sini dulu. Banyak ikan kecik nah.”, teriakku lagi.

Akhirnya Atik dan Eni mendekatiku. Mereka terlihat penasaran.

            “Mano San??”, tanya Atik.

            “Ini nah.”, balasku tersenyum sambil menunjuk lubang air itu.

Atik dan Eni saling berpandangan heran.

            “Ini kan kecebong Saaaan.”, jawab Eni sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

            “Iyo San, ini kecebong. Hahah…”, timpal Atik lagi sambil tertawa geli.

Eeehhh?? Kecebong?? Aku cuma bisa bengong, malu dan akhirnya paham kalau itu adalah kecebong alias anak katak. Ternyata aku belum bisa membedakan mana itu ikan, mana kecebong. Hahah… xD

Tak terasa, matahari sudah berada tepat di atas kepala kami. Tapi kami tetap asyik dengan kegiatan kami, dan sayup-sayup terdengar suara adzan, waktunya sholat dzuhur. Kami bergegas pulang ke rumah, kami juga harus mengaji lagi siang ini. Kami mengaji setiap hari tanpa diminta bayaran apapun. Jika sekolah pagi maka mengaji siang, jika sekolah siang maka mengaji pagi. Bahkan kami boleh belajar mengaji pagi dan siang jika kami mau. ^^

Nenek tino (nenek perempuanku, diambil dari kata betina/o) sudah mengenal kebiasaanku, ketika aku pulang dari bermain dia langsung menyuruhku untuk sholat dan makan. Setelah makan, aku langsung bersiap untuk pergi ke langgar. Hari ini giliranku dan Eni piket membersihkan langgar. Seperti biasa kami mengaji, membaca surat Al-Fatihah saat mulai, membaca doa ibu bapak, surat-surat pendek (surat Al-Asr, surat Al-Falaq, surat An-Nas dan surat Al-Ikhlas) saat berakhir. Peraturan pecutpun tetap berlaku setiap hari. Kekkeke…

Setelah selesai mengaji, kami berjanji berkumpul lagi di halaman dekat langgar. Tapi yang datang cuma aku, Lien, Atik, Eni, kak Adit, Akbar dan Endi. Padahal kami berencana ingin bermain bentengan lagi. Tapi karena anggotanya kurang kami mengubah rencana, mencari buah asam. Di dekat rerumputan ada pohon asam besar yang tumbuh di pekarangan rumah tua. Sebenarnya rumah ini ada yang menunggunya, tapi jarang terlihat oleh kami, jadi kami langsung mengambil saja buah asam yang sudah berjatuhan tanpa permisi, kekekek… Buah asam ini benar-benar terasa enak, asam, manis semua ada. ^^v Tapi terkadang kak Adit suka menakut-nakuti kami, alhasil kami akan berlari tunggang-langgang karena ketakutan walaupun di siang hari. T.T

#####

 

3

Malam ini nenek tino akan bercerita lagi padaku dan Lien. Seperti dongeng sebelum tidur. Tapi uniknya, saat nenek tino bercerita kami memijat kakinya. ^^ Malam ini dongeng yang akan diceritakan adalah dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih.

Versi nenekku ini, Bawang Merah dan Bawang Putih adalah saudara tiri. Ayah Bawang Putih adalah seorang pedagang. Selepas ibu Bawang Putih meninggal dunia karena diracuni Bawang Merah dan ibunya (tanpa diketahui Bawang Putih dan ayahnya), sang ayah menikahi ibu Bawang Merah agar Bawang Putih tidak merasa kesepian. Sang ibu tiri dan saudara tirinya selalu bersikap manis saat di depan sang ayah, tapi jika sang ayah pergi untuk berdagang maka sang ibu tiri dan Bawang Merah akan menyiksa Bawang Putih. Membereskan rumah, mencuci baju, memasak, bahkan mencari kayu bakar, semua harus dilakukan Bawang Putih setiap harinya. Dan penderitaan Bawang Putih semakin menjadi-jadi tatkala ayahanda tercintanya meninggal karena sakit.

Sampai suatu hari Bawang Putih tengah mencuci baju sang ibu tiri dan Bawang Merah di sungai. Tetapi malang terjadi, baju sang ibu tiri terhanyut. Bawang Putih mencoba mengejar baju itu, tapi tidak berhasil. Bawang Putih terus mencari hingga sore hari, tetap saja dia tidak berhasil menemukannya. Bawang Putih pun menangis sedih. Tiba-tiba Bawang Putih mendengar ada yang memanggil-manggil namanya.

            “Bawang Putih… Bawang Putih…”

Bawang Putih mencari-cari sumber suara itu. Alangkah terkejutnya Bawang Putih tatkala dia tahu sumber suara itu berasal dari seekor ikan mas yang ada di sungai itu.

            “Kau siapa??”, tanya Bawang Putih sedikit takut.

            “Jangan takut Bawang Putih. Aku ikan mas, jangan bersedih lagi, aku akan membantumu menemukan baju ibu tirimu.”, balas ikan mas.

            “Bagaimana bisa kau menemukannya?? Baju itu sudah lama hanyut di sungai.”, tanya Bawang Putih lagi, sedih.

            “Jangan khawatir, aku akan mencarikannya untukmu. Kau tunggulah di sini saja Bawang Putih.”, balas ikan mas lagi.

Akhirnya Bawang Putih setuju dengan ikan mas itu. Setelah beberapa lama menunggu, sang ikan mas kembali dengan sebuah baju berwarna merah milik sang ibu tiri. Bawang Putih benar-benar berterima kasih pada sang ikan mas.

             “Terima kasih ikan mas, kau sudah menolongku. Aku harus segera pulang, ibu tiriku pasti marah padaku karena aku sudah terlalu lama di sini.”, kata Bawang Putih berterima kasih.

             “Jika kau ingin mencariku, panggil saja aku, ikan mas sebanyak tiga kali. Aku akan datang menemuimu.”, balas ikan mas.

Akhirnya Bawang Putih dan ikan mas berteman baik. Setiap kali Bawang Putih mencuci di sungai, ikan mas akan membantu Bawang Putih. Begitu pakaian kotor dicelupkan ke dalam sungai, pakaian itu akan bersih dengan sendirinya. Hingga akhirnya Bawang Putih membawa sang ikan mas pulang ke rumahnya. Bawang Putih meletakkan ikan mas ke dalam gentong air yang ada di belakang rumah tanpa sepengetahuan sang ibu tiri dan Bawang Merah.

Di sisi lain, di sebuah kerajaan, sang Raja tengah sakit keras. Hanya ada satu tanaman obat yang bisa menyembuhkannya, tanaman berdaun emas. Tapi sang Pangeran sudah mencari ke semua pelosok negeri, tetapi belum juga menemukan tanaman emas itu.

Sang ibu tiri dan Bawang Merah merasa curiga pada Bawang Putih, karena semua tugas berat yang diberikan pada Bawang Putih bisa diselesaikan Bawang Putih dengan baik. Akhirnya mereka tahu jika selama ini Bawang Putih dibantu oleh seekor ikan mas ajaib. Tanpa sepengetahuan Bawang Putih, sang ibu tiri dan Bawang Merah memasak dan memakan habis daging ikan mas ajaib itu. Bawang Putih hanya disisakan kepala dan duri dari ikan mas ajaib. Bawang Putih sedih dan menangis, tapi tiba-tiba ada suara terdengar.

                “Jangan menangis Bawang Putih. Kuburkan saja kepala dan duri tulangku ini.”, Bawang Putih yakin itu permintaan dari sang ikan mas ajaib.

Kemudian Bawang Putih menguburkan kepala dan duri-duri tulang sang ikan mas ajaib. Hari demi hari tumbuhlah sebatang pohon berdaun emas dari tempat dimana ikan mas dikuburkan. Bawang Merah dan ibunya terpana melihat pohon berdaun emas itu.

Dan suatu hari sang pangeran melintas di desa Bawang Putih dan sangat senang melihat pohon berdaun emas itu. Setelah sekian lama, akhirnya dia menemukan obat untuk sang ayahanda Raja. Sang pangeran pun bertanya siapa pemilik pohon berdaun emas ini. Sang ibu tiri dan Bawang Merah pun berbohong, mereka mengaku pada sang pangeran bahwa merekalah pemilik pohon itu.

               “Bolehkah aku memiliki pohon ini? Sudah sekian lama aku mencari-cari pohon ini untuk obat ayahanda Raja.”, tanya pangeran.

               “Oohh tentu, tentu saja pangeran.”, jawab ibu tiri dengan harapan sang pangeran akan menikahi Bawang Merah.

               “Bawang Merah, ayo cepat kau cabut pohon ini, lalu berikan pada sang pangeran.”, perintah ibu pada Bawang Merah.

              “Baik ibunda.”, jawab Bawang Merah.

Tapi ternyata Bawang Merah tidak bisa mencabut pohon itu walau sudah dibantu oleh ibunya. Bahkan mereka sampai terjatuh. Akhirnya Bawang Putih yang sedari tadi mendengar semuanya, memberanikan diri menghadap sang pangeran.

            “Maaf pangeran, jika hamba lancang. Saya Bawang Putih, pemilik pohon ini. Sekiranya izinkanlah saya mencabut pohon ini untuk pangeran.”, pinta Bawang Putih hormat.

             “Baiklah, silahkan kau mencabut pohon ini Bawang Putih.”, perintah pangeran.

Hanya dengan sekali saja Bawang Putih berhasil mencabut pohon berdaun emas itu. Akhirnya Bawang Putih dibawa pangeran ke istana untuk dijadikan istri. Saat Bawang Putih dan pangeran pergi menuju istana, tiba-tiba keluar air yang sangat banyak dari lubang tempat pohon berdaun emas itu hingga akhirnya menenggelamkan Bawang Merah dan ibunya. Sedang Bawang Putih dan Sang Pangeran hidup bahagia selamanya. The End. 

Nenekku menceritakan Bawang Merah dan Bawang Putih ini secara detail dengan dialog-dialog singkatnya. Itulah kenapa aku dan Lien tidak pernah bosan mendengarkan cerita dari nenekku. Kami pun mulai mengantuk, selesai dongeng maka selesai pula tugas memijat kami. Kami harus tidur, besok kami harus bersekolah lagi.

#####

to be continued

– SM – 29032013



{28 Maret 2013}   Cinta <3

Cinta – buat sebagian orang cinta itu indah sekalee, tapi buat sebagian orang lagi cinta itu menyakitkan (apalagi buat yang lagi patah hati, ^^v). Terkadang kalo difikir-fikir yang dibilang orang kalo “lebih baik dicintai daripada mencintai” emang benar adanya. Lebih baik menerima cinta dari orang yang benar-benar mencintai kita dengan tulus, daripada harus mencintai orang yang tidak dan tidak akan pernah mencintai kita.

Luka cinta di masa lalu tidak akan dengan mudah bisa terobati begitu saja, pasti terasa sulit. Jatuh cinta pada orang yang salah, jatuh cinta pada orang yang tidak akan pernah membalas cinta itu, benar-benar terasa hampa. Dunia terasa pahit (sepahit daun pepaya????), bahkan lidahpun terasa pahit saat menyentuh makanan enak (lagi sakit kaleeee…). ‘O,o

Mulai mencoba mencari cinta yang baru?? (so what???). Takut semua yang terjadi di masa lalu terulang lagi, kata kerennya “trauma cinta”, ckckckk.. Sekarang yang terpenting yaitu percaya bahwa Allah S.W.T. akan memberikan jodoh yang terbaik. Jalani takdir hidup dengan ikhlas. Hidup, mati, rezeki, jodoh, semua Allah S.W.T.  yang mengatur. Bersabarlah, jika tiba masanya dia kan hadir, hadir mengisi kekosongan hidupmu………………………….. Semangat….!!!! ^^v

1180714125

-SM- 26032013

 

 



{28 Maret 2013}   Takdir

Dulu, dunia ini sangat manis bagiku…

Begitu bangga bisa hidup, bernafas, berdiri di dunia ini…

Semua terasa hangat, begitu hangat…

Sekarang, dunia ini tak semanis dulu, bahkan terasa dingin…

Aku tak sebangga dulu untuk hidup, aku ketakutan…

Melarikan diri dari semuanya?? PENGECUT…!!!

Ini semua kelalaianku, aku lupa waktu terus berjalan…

Ini jalan hidup yang aku buat, aku sendiri…

Mancoba memperbaiki semuanya, melanjutkan apa yang menjadi takdirku…

Hanya percaya satu hal, Allah tak akan pernah meninggalkanku…

gadis-berpayung

(gambar diambil dari pacarkecilku.com)

-SM- 26032013

 



et cetera